BAB I
PENDAHULUAN
1.
Pengertian
Kekuasaan
Dari sudut etimologi, kekuasaan secara
sederhana dan umum diartikan sebagai “kemampuan berbuat dan bertindak” (power
is an abnility to do or act). Secara
terminologi memperlihatkan bahwa kekuasaan adalah suatu kemampuan yang terdapat
didalam hubungan antar manusia (sosial) sebagai wadah penerapan kekuasaan.
Kekuasaan oleh Miriam Budiardjo, yaitu kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang
atau kelompok lain sedemikian rupa hingga tingkah laku itu sesuai dengan
keinginan dan tujuan dari orang yang mempuanyai kekuasaan itu. 1
Secara
umum ada dua bentuk kekuasaan:
1. Pertama
kekuasaan pribadi, kekuasaan yang didapat dari para pengikut dan didasarkan
pada seberapa besar pengikut mengagumi, respek dan terikat pada pemimpin.
2. Kedua
kekuasaan posisi, kekuasaan yang didapat dari wewenang formal organisasi.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk menggunakan
pengaruh pada orang lain artinya kemampuan untuk mengubah sikap atau tingkah
laku individu atau kelompok. Kekuasaan juga berarti kemampuan untuk
mempengaruhi individu, kelompok, keputusan, atau kejadian. Kekuasaan tidak sama
dengan wewenang, wewenang tanpa kekuasaan atau kekuasaan tanpa wewenang akan
menyebabkan konflik dalam organisasi. Kekuasaan berkaitan erat dengan pengaruh
(influence) yaitu tindakan atau contoh tingkah laku yang menyebabkan perubahan
sikap atau tingkah laku orang lain atau kelompok.
Kekuasaan, menurut
pakar sosiologi – politik, berasal dari lima sumber, yaitu:
a) Kekuatan
(kekerasan) fisik
b) Kedudukan
atau jabatan
c) Kekayaan
d) Kepercayaan
atau keyakinan
e) Ketrampilan
dan keahlian.
2. Pengertian Keadilan
Kata keadilan dalam bahasa Inggris adalah justice yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu (1) secara
atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2)
sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang
menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan (3)
orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu
perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate). 2
Sedangkan kata adil
dalam bahasa Indonesia bahasa Arab “al
‘adl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan
hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.3
Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata yang lain (sinonim)
seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata ‘adl dalam berbagai
bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi
keadilan itu (misalnya “ta’dilu” dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl
dalam arti tebusan). 4
Untuk mengetahui apa
yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan merupakan kebijakan yang
besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan aturan hukum
positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian
menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan. Namun tentu tidak
demikian halnya jika ingin memainkan peran menegakkan keadilan
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Teori
Kekuasaan Machiavelli
1.1.
Situasi
Sosial Politik
Machiavelli lahir di masa zaman
Renaissanse. Istilah zaman Renaissance dalam konteks sejarah Barat diartikan
sebagai kebangkitan kembali minat yang sangat besar terhadap warisan Yunani dan
Romawi kuno dalam berbagai aspek. Bagi para sejarawan, renaissance dianggap
sebagai starting point perkembangan peradaban eropa, hal ini dikarenakan
Pertama, pencapaian keberhasilan manusia renaissance di berbagai bidang. Kedua,
kebangkitan kembali minat terhadap warisan Yunani dan Romawi kuno. Ketiga,
terjadinya perubahan terhadap pola fikir manusia dari teosintrik menjadi
antroposentrik. Keempat, terjadinya perlawanan terhadap otoritas gereja yang
melahirkan kebebasan intelektual dan agama. Kelima, memunculkan wawasan baru
mengenai relasi negara, agama dan moralitas. Dapat dikatakan zaman renaissance
merupakan jaman peralihan antara zaman kegelapan (Dark Ages) abad
pertengahan ke zaman pencerahan (Enlightenment Age).
Adapun yang melatar belakangi
dinamika perubahan zaman dimasa itu adalah Pertama,
terjadinya perkembangan kapitalisme dan merkantilisme melalui kontak
perdagangan antara peradaban timur dan barat hal ini menyebabkan terjadinya
perubahan dalam masyarakat dari masyarakat agraris berorientasi desa menuju
masyarakat berorientasi kota, sehingga memunculkan kota-kota baru. Kedua, perang salip yang berlangsung
abad X dan XII jusru memberikan dampak positip bagi dunia barat. Karena perang
ini terjadilah kontak perdagangan antara dunia barat (kristen) dengan
dunia timur (islam), dari hubungan inilah terjadi tranmisi peradaban, dimana
kegemilangan peradaban islam menular ke eropa, khususnya Itali.
Ketiga, pertikaian antara agama kristen
dengan ilmu pengetahuan. dimasa itu terjadi perlawanan kaum cendikiawan melawan
dogma-dogma gereja dimana hasil temuan dari para cendikiawan dianggap sebagai
penyimpangan terhadap doktrin gereja. Hal ini justru menimbulkan konflik
diantara keduanya. Penyebabnya, karena gereja dalam menangani konflik dengan
cara-cara kekerasan dan kekejaman, hal ini menimbulkan benih-benih perlawanan
dan semakin berkembangnya humanisme di Italia mengakibatkan terjadilah
perubahan yang menganggap manusia sebagai pusat dunia.
Abad pertengahan yang mengsakralkan
cosmos berubah dan mengesahkan terjadinya persaingan kekuaasaan, manusia saat
itu menjadi sangat agresif, mencari dan mengejar apa yg belum dimiliki dan
menjaga semampu mungkin apa yg telah di dapat. Setting sosial politik saat itu
sangat chaos, khususnya dalam hal perebutan kotoritas kekuasaan.
1.2
Kekuasaan Menurut Machiavelli
Kekuasaan menurut Machiavelli
bersandar pada pengalaman manusia. Kekuasaan memiliki otonomi terpisah dari
nilai moral. Karena menurutnya, kekuasaan bukanlah alat untuk mengabdi pada
kebajikan, keadilan dan kebebasan dari tuhan, melainkan kekuasaan sebagai alat
untuk mengapdi pada kepentingan negara. Dalam pemikiran Machiavelli kekuasaan
memiliki tujuan menyelamatkan kehidupan negara dan mempertahankan kemerdekaan. 5
Hal ini dapat dilihat dalam karyanya
The Prince, dimana kekuasaan
seharusnya merujuk pada kepentingan kekuasaan itu sendiri, tidak lain untuk
mewujudkan kekuasaan yang kuat.6 Ia menyarankan penguasa, sebagai pemilik
kekuasaan seharusnya mampu mengejar kepentingan Negara, demi kejayaan dan
kebesarannya. Penguasa
harus mampu menjaga kedaulatan negara dari berbagai ancaman yang mungkin
terjadi, untuk itu penguasa harus prioritaskan stabilitas negara dan selalu
dalam kondisi siaga dalam menghadapi berbagai kemungkinan serangan musuh. Untuk
itu penguasa haruslah memperkuat basis pertahanan dan keamanan negara serta
kedaulatan dan kesatuan negara harus diprioritaskan.
Dalam konteks ini, menurut
Machiavelli, hukum memiliki peranan sebagai penengah untuk mencapai persatuan
dan kesatuan bangsa negara. Namum hukum tidak akan berjalan tampa adanya intervensi
dukungan penguasa. Peranan hukum yang besar dalam upaya tercibtanya stabilitas
kekuasaan akan lebih baik bilamana didukung oleh kekuatan militer.7
Kekuasaan
menurut Machiavelli merupakan alat yang mengabdi pada kepentingan negara.
Kekuasaan, dalam hal ini kekuasaan militer, juga merupakan merupakan dasar
negara yang utama, bahkan melampaui hukum. Oleh karena itu, ajaran Machiavelli dinamakan
ajaran tentang “Kepentingan Negara” (staatraison).
Jadi, negara adalah tujuan akhir dari kekuasaan. Bahkan demi tujuan akhir
tersebut, Machiavelli mengabaikan tujuan-tujuan lainnya, seperti keadilan,
kebebasan, dan kebaikan bagi warga negara.
Hal
ini tentu saja tidak sejalan dengan etika kekuasaan di negara demokrasi dimana rakyat
adalah tema sentral dari kekuasaan. Namun ada unsur pemikiran Machiavelli yang masih
relevan dengan konteks negara demokrasi, yaitu, dalam hal bagaimana meraih
kekuasaan. Seseorang dapat meraih kekuasaan, menurut Machiavelli apabila dalam
dirinya terdapat dua hal, yaitu, keberuntungan (fortuna) dan kecerdikan
(virtu).
Keberuntungan
menentukan separuh dari dapat diraihnya kekuasaan, separuh lainnya, atau hampir
sebanyak itu, ditentukan oleh kecerdikan individu tersebut. Digambarkan olehnya
bahwa manusia harus mempersiapkan diri dengan virtunya agar ketika “banjir”
keberuntungan itu datang, dia telah siap untuk menghadapinya dan menggunakan
keberuntungan tersebut sebaik-baiknya demi meraih kekuasaan.
Ada
kecenderungan bahwa orang yang kekuasaannya lebih didasarkan pada kecerdikan,
lebih kuat kedudukannya. Semakin orang tidak mengandalkan keberuntungan, akan
semakin kuat kedudukannya. Sebaliknya, orang yang meraih kekuasaan lebih karena
keberuntungan sehingga didapatkannya tanpa usaha keras, akan mengalami
kesulitan besar dalam usahanya mempertahankan kekuasaan.
Dalam
era demokrasi pun banyak unsur pemikiran Machiavelli tentang mempertahankan
kekuasaan yang layak untuk dipakai, namun tentunya dengan penyesuaian berupa
penghalusan cara-cara tindakan. Misalnya, pemikirannya tentang seorang penguasa
harus mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat binatang, dan
bahwa menggunakan salah satu tanpa yang lainnya tidak akan dapat bertahan.
Kedua sifat ini memang harus dimiliki penguasa. Dalam hal sifat binatang,
Machiavelli mengatakan bahwa seorang penguasa harus menjadi rubah agar mengenal
perangkap-perangkap dan menjadi singa untuk menghalau serigala-serigala. Jelas
sifat ini perlu dimiliki penguasa sebab dalam politik di era demokrasi ini
terdapat banyak perangkap-perangkap dan ancamanancaman dari lawan-lawan
politik. Sifat binatang ini hanya dipakai apabila terdapat ancaman bagi
kelangsungan kekuasaan, diluar kondisi itu, penguasa sepatutnya kembali
bersifat manusia. Untuk menghindari datangnya perangkap dan ancaman, dapat
diantisipasi dengan beberapa cara, misalnya, tidak menambah kekuasaan seseorang
(bawahan) yang sudah kuat, tidak memasukkan orang yang terlalu kuat ke dalam
jajaran kabinet, kalau seandainya ada seseorang yang menjadi terlalu kuat di
dalam kabinet sehingga berpotensi melampaui kekuasaannya, sebaiknya
diberhentikan.
Pemikiran
Machiavelli lainnya yang masih layak dipakai dalam praktek negara demokrasi
adalah berupa nasehat-nasehat. Tentang hubungannya dengan militer, Machiavelli
mengatakan bahwa seorang penguasa ideal ialah seorang penguasa yang harus
sanggup menjadi panglima militer yang cakap dan trampil serta yang benar-benar
dapat mengendalikan angkatan perang dengan baik. Penguasa dalam negara
demokrasi adalah juga seorang panglima tertinggi dalam angkatan perang, maka
penguasa harus bisa menunjukkan perannya danbisa mengendalikan militer
sebaik-baiknya. Selain itu, penguasa yang kuat adalah mereka yang mempunyai
pasukan yang besar atau bisa menghimpun angkatan perang yang mampu menghadapi
setiap ancaman kedaulatan negara.
2. Teori Keadilan
2.1 Teori Keadilan Aristoteles
Pandangan-pandangan
Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean
ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean
ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan
filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya,
“karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. 8
Yang
sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami
dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara
kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan
setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami
tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua
warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa
yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya.
Dari pembedaan ini Aristoteless menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan
seputar keadilan.
Lebih
lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan
korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum
perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap
problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya.
Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang
sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang
menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya,
pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan
distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan
barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan
mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak
Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan
nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan
distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.9
Di
sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika
suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif
berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika
suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan
kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya
“kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas
membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan
korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan
bidangnya pemerintah.6
Dalam
membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan
antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan
pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan
pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan
dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang
dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang
terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada
komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan
dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa didapatkan
dari fitrah umum manusia.10
2.2 Teori Keadilan Sosial John Rawlss
Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal
abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial. Hal ini terkait dengan munculnya
pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu.
John
Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan
sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair
equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa
perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling
besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.
Istilah
perbedaan sosial-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan
dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan,
dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan
pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek
kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi
perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan
terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan
Hume, Bentham dan Mill.
Rawls
berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip
utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan
demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya
teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang
boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat
dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang
sudah kurang beruntung dalam masyarakat.
Menurut
Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa
sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini
terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama,
situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang
paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga
dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan
orang-orang kecil. Kedua,
ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang.
Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam
hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras,
kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
Lebih
lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang
berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu,
pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling
luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur
kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap
orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.
11
Dengan
demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang
yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan
untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi
ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi
sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan
harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan
untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
BAB III
PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi tentang
kekuasaan dan keadilan yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya
masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Kelompok banyak berharap bapak dosen memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada kelompok demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi kelompok pada khususnya juga
para mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Carl Joachim Friedrich, Filsafat
Hukum.
Fariz Pradipta Lawz, Sistem Hukum Administrasi Negara dalam Konsep Welfare State.
Makalah.
John Rawls, 2006. A Theory of Justice,
London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa
indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Kilcullen,
R. J. “Tape 11: Rawls, A Theory of Justice (Draft)”.http://www.humanities.mq.edu.au/
Ockham/y6411.html. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2011.
Machiavelli.
Diskussus, dalam terjemahan “The Discourses”, The Modern Library, New York,
1950, Bab XIIdan Bab XVII.
Rapar, J.H.
2001. Filsafat Politik Plato,
Aristotales, Agustinus, Machiavelli. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
The
Philosophy Club. “Rawls’s Theory of Justice”. http://www.sydgram.nsw.edu.au/
College_Street/extension/philosophy/rawls.htm. Diakses pada tanggal 25 Oktober
2011.
Wahid,
Abdurrahman, Konsep-Konsep Keadilan, http://www.isnet.org/~djoko/Islam/
Paramadina/00index, diakses pada tanggal 25 Oktober 2011.
1 Fariz Pradipta Lawz, Sistem Hukum Administrasi Negara dalam
Konsep Welfare State. Makalah. Hlm. 6.
2 Kilcullen, R. J. “Tape 11: Rawls, A Theory of Justice
(Draft)”.http://www.humanities.mq.edu.au/ Ockham/y6411.html. Diakses pada
tanggal 25 Oktober 2011.
3 Wahid,
Abdurrahman, Konsep-Konsep Keadilan, http://www.isnet.org/~djoko/Islam/
Paramadina/00index, diakses pada tanggal 25 Oktober 2011.
4 The
Philosophy Club. “Rawls’s Theory of Justice”. http://www.sydgram.nsw.edu.au/
College_Street/extension/philosophy/rawls.htm. Diakses pada tanggal 25 Oktober
2011.
5 Rapar, J.H. Filsafat Politik Plato, Aristotales,
Agustinus, Machiavelli. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001. Hal. 430
7
Lihat, Machiavelli. Diskussus, dalam
terjemahan “The Discourses”, The Modern
Library, New York, 1950, Bab XIIdan Bab XVII.
8 Carl Joachim Friedrich, Filsafat
Hukum ...., hlm. 24
9
Ibid, hal 25.
10 Ibid, hal. 26-27.
11 John Rawls, A Theory of
Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.